Menatap Masa Depan Hubungan Indonesia Afganistan Pasca Taliban Berkuasa (Ulasan ke-2)

Sebuah Diskursus Mengenai Perubahan Geopolitik dan Aspek Fraud

Kali ini, IAFC (Indonesian Anti Fraud Center) mengangkat isu yang sedang hangat, dan kita sajikan dalam sebuah diskusi yang bernuansa kekeluargaan, tidak ada kepentingan politik, ekonomi dan sepenuhnya independen untuk kepentingan bangsa yang lebih baik. Diskusi menarik karena menghadirkan narasumber dan peserta diskusi yang kompeten dengan pengalamannya yang bersentuhan dengan isu yang terjadi di Afghanistan, yaitu terkait dengan politik luar negeri, isu fundamentalis dan isu kecurangan dalam bentuk korupsi yang sangat menggurita di Afghanistan, sebuah tema yang berhubungan dengan perhatian IAFC di bidang Anti Fraud, untuk dapat kita ambil pelajaran bersama bagi Indonesia yang lebih baik di bidang anti kecurangan. Pada diskusi kali ini, IAFC menghadirkan para nara sumber, sbb:

  1. Bapak Dubes J. Sudrajat, Mayjend TNI Purn; Ketua Umum LIT/LIC;
  2. Bapak Laksda TNI Purn Soleman, mantan Ka BAIS TNI;
  3. Prof Dr. Tjipta Lesmana, Pakar Komunikasi dan Pengamat Politik Indonesia.

Peserta diskusi yang tidak kalah menarik, di antaranya hadir bersama kami adalah Bapak Marsekal TNI (Purn.) Djoko Suyanto, Bapak Marsekal TNI (Purn.) Chappy Hakim, Bapak Anshori Tajudin (mantan Dubes RI untuk Afghanistan) dan para peserta lainnya yang tidak kalah penting, yang tidak dapat kami sebut satu persatu.

Latar Belakang

Akhir-akhir ini, berita tentang runtuhnya pemerintahan Afghanistan seiring dengan penarikan pasukan  Amerika Serikat dan sekutunya setelah 20 tahun berada di Afganistan, menjadikan Taliban kembali berkuasa. Hal ini tidak lepas dari konsekuensi perundingan Amerika Serikat dengan Taliban untuk mengakhiri keberadaannya di Afghanistan, dan mempersilahkan Taliban mempersiapkan pemerintahan inklusif, serta memenuhi tuntutan dunia Internasional antara lain untuk tidak mendukung kegiatan terorisme, serta menghormati hak-hak perempuan di Afghanistan.

Bagaimana  sebuah pemerintahan demokrasi yang didukung Amerika Serikat selama hampir 20 tahun berkuasa, ambruk begitu saja seiring dgn kepergian pasukan pimpinan Amerika Serikat tersebut, yang notabene telah menggelontorkan begitu banyak sumber daya dengan anggaran sekitar USD 2 triliun atau setara dengan Rp. 30 ribu triliun? 

Demokrasi vs Syariah

Dunia dikejutkan dengan dikuasainya Kabul oleh Taliban, menandakan berakhirnya kekuasaan pemerintahan Afganistan era Dr. Ashraf Ghani Ahmadzai, mantan kandidat Sekjen PBB serta presiden Afganistan yang ke 14, menjabat sejak September 2014 hingga pelariannya ke Uni Emirat Arab pada 15 Agustus 2021 lalu. Dia adalah presiden hasil pemilu Afghanistan menggantikan Hamid Karzai.

Tentu, banyak analisa untuk menjawabnya, di antaranya adalah budaya korup pemerintahan Afghanistan yg berkuasa. Sebuah survei PBB di tahun 2012, mendapati bahwa separuh dari populasi orang dewasa di Afghanistan menyuap pejabat publik setidaknya sekali dalam satu tahun, jumlah suap yang dibayarkan kepada pejabat publik meningkat 40 persen menjadi 3,9 miliar USD. Ini artinya, warga miskin semakin kurang mampu dari sebelumnya untuk mendapatkan layanan publik. Total suap yang dibayar oleh warga Afghanistan pada tahun 2012 dua kali lipat pendapatan yang dihasilkan oleh pemerintah Afghanistan pada tahun 2010 dan 2011 untuk menyediakan pelayanan publik. Survei itu bahkan tidak memperhitungkan korupsi politik tingkat tinggi. PBB mengatakan, korupsi mencakup penyuapan, penggelapan, penyalahgunaan kekuasaan dan nepotisme, mulai dari pejabat tinggi pemerintah sampai ke pejabat tingkat rendah yang bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat mereka sendiri. Salah satu bidang yang mengalami peningkatan korupsi adalah pendidikan. Menurut laporan tersebut, lebih dari separuh dari mereka yang disurvei mengatakan bahwa mereka telah menyuap seorang guru di tahun 2012.

Isu korupsi menjadi kampanye yang berhasil bagi Taliban kepada rakyat Afghanistan, untuk lebih memilih keadilan berdasarkan Syariah Islam, daripada demokrasi namun korupsi merajalela pada birokrasi dan layanan publik. Namun demikian, walaupun negara demokrasi dengan pemilunya, namun pemerintahan demokrasi yang terpusat dan di-guide oleh Amerika, yang walaupun diklaim diiikuti oleh sekitar 60% jumlah pemilih, namun sudah dapat dipastikan bahwa pihak yang pro Taliban tidak ikut pemilu, padahal populasi suku Pashtun (Taliban) sekitar 42% dari total penduduk Afghanistan, merupakan populasi terbesar di antara empat suku besar bangsa Afghanistan.

Penerapan demokrasi yang tidak ideal, karena tidak menjangkau seluruh lapisan masyarakat Afghanistan, sehingga landlord -landlord yang berada di daerah-daerah disinyalir tidak terjangkau pemilihan umum. Situasi inipun membuat sistem pemerintahan yang ada tidak dapat menerapkan good governance, dan akibatnya korupsipun menggurita.

Apakah dgn Syariah korupsi bisa diselesaikan? Jawabannya bisa ya, dan tidak. Karena korupsi adalah masalah karakter manusia, yang dibentuk bisa oleh keadaan karena masalah struktural kemiskinan dan rendahnya pendidikan yang mendominasi masyarakat Afghanistan, sehingga korupsi sebagai sebuah keadaan no-choice, di samping masalah tata kelola pemerintahan yang belum dapat menerapkan prinsip-prinsip good governance dengan baik. Sepertinya akan masih panjang upaya bagi pemerintahan baru Afghanistan di dalam upaya pemberantasan korupsi, menjawab apakah Taliban bisa membuat Afghanistan sebagai sebuah nation state yang tidak akan disibukkan oleh perpecahan fraksi-fraksi kekuatan di setiap wilayahnya.  Oleh karena itu, tidak ada yg salah dengan demokrasi maupun syariah dalam penciptaan budaya anti kecurangan, sehingga tidak bisa dipertentangkan mana yang lebih baik dalam pemberantasan korupsi. Yang salah adalah sistem penerapannya yang tidak mencerminkan demokrasi maupun syariah yg ideal.

Dengan demikian, untuk di Indonesia, tidak salah demokrasinya dalam penerapan budaya anti kecurangan, namun yang salah jika praktek demokrasi kita belum ideal di dalam menjalankan kekuasaan trias politika, mengakibatkan campur tangan antar kekuasaan, rendahnya law enforcement, sehingga memberikan peluang kecurangan meningkat, atau menjadi budaya yg salah di kalangan masyarakat. Hal inilah yang bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia di dalam menerapkan budaya anti kecurangan.

Sebagai sebuah nilai keadilan, maka anti kecurangan adalah sebuah prinsip dasar kehidupan yang dirindukan oleh  setiap orang pada setiap lapisan masyarakat, tanpa melihat agama, ras, aliran politik, bahkan ideologi apapun. Di dalam idiologi Pancasila, nilai keadilan ada pada sila kelima. Persoalan di Indonesia adalah kurangnya upaya-upaya konkrit untuk membumikan Pancasila ke dalam perilaku masyarakat luas, baik melalui  pendidikan budi pekerti sejak usia dini, maupun program national service sebagai bagian pembangunan karakter (character building) bangsa.   

Persatuan dan kesatuan

Ada euforia di tanah air bahwa kemenangan Taliban di Afghanistan diartikan sebagai kemenangan Islam, dihubungkan dengan kemungkinan tumbuhnya gerakan fundamentalis/radikalis di Indonesia. Padahal semua fraksi yang bertentangan di Afghanistan, sejak akhir perang dunia kedua, selalu membawa nama Islam. Masyarakat Afghanistan adalah masyarakat yang terpecah belah, yang  memiliki daerah kekuasaan dan kepentingannya masing-masing, saling bertikai dan semuanya membawa bendera islam. Sehingga, tidak ada hubungannya antara Taliban dengan kemenangan Islam, namun lebih pada kekuatan dari dalam negeri untuk membebaskan diri dari pengaruh asing, yaitu sejak invasi Uni Soviet pada tahun 1979, kemenangan pejuang Mujahidin yang didukung Amerika dan sekutunya, serta berkuasanya Taliban sejak tahun 1996.  Sampai dengan Amerika Serikat dan sekutunya menduduki Afghanistan karena Taliban yang berkuasa pada saat itu melindungi pemimpin Al-Qaeda sebagai dalang penyerangan Gedung WTC oleh teroris pada tahun 2001.

Pemerintahan yang tidak kuat dan korup, didukung dengan kondisi tentara Afghanistan yang kurang loyal, kualitasnya rendah, dan banyak terjadi desersi ke pihak Taliban. Ini adalah kondisi yang menyebabkan pemerintahan Ashraf Ghani lemah dan secara de facto menyerahkan kekuasaan kepada Taliban, termasuk senjata-senjatanya. Sekarang Taliban berkuasa, namun menjadi persoalan siapa yg akan memimpin, karena memang tidak mudah untuk menyatukan fraksi-fraksi kekuatan di daerah-daerah yang belum tentu tunduk kepada kekuasaan Taliban. Mereka membutuhkan tokoh pemersatu di dalam Afghanistan yang bisa menjembatani kekuatan fraksi-fraksi yang terpecah, serta dapat mengakomodir kepentingan dunia internasional kepada Afghanistan.

Belajar dari kasus Afganistan, kekuatan utama sebuah bangsa adalah persatuan dan kesatuan, sebagai sebuah nation state, sehingga efektif di dalam upaya untuk menegakkan keadilan sosial, ekonomi dan politik. Sistem yang adil memiliki fundamentalnya pada implementasi budaya anti kecurangan yg kuat, dan sebaliknya, kecurangan yg merajalela akan menjadi alasan kuat bagi tumbuhnya radikalisme, terorisme, dan kejahatan oligarki yg dapat meruntuhkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Share on whatsapp
WhatsApp
Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn

Leave a Reply