Sebuah Diskursus Memperkuat Budaya Anti Kecurangan
Bagian Ketiga :
Civic Culture
Menarik apa yang disampaikan oleh Dr. Robertus Robert terkait demokrasi dan kepemimpinan yang berkelanjutan dilihat dari perspektif sosiologi, dengan teori yang dianggapnya cocok untuk kondisi sekarang, yaitu terkait apa yang disebut dengan civic culture. Bagaimana kita melihat social based dari masyarakat sehingga bisa melihat renggangan dari tipe-tipe leadership yang muncul serta keperluan dasar dari masyarakat kita seperti apa.
Civic culture biasa juga disebut dengan budaya politik (kewarganegaraan) merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat diartikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.
Mengambil slogan social based di AS dengan American dream-nya, Robert K Merton, sosiolog Amerika, membahas pertautan antara ketegangan-ketegangan sosial di dalam masyarakat dengan apa yang disebut di Amerika sebagai American dream. Kejahatan ataupun segala bentuk penyimpangan yang terjadi, termasuk fraud di dalamnya itu sebagai satu fungsi yang diakibatkan dari dua hal, yaitu pertama dari adanya tujuan-tujuan yang ditetapkan di dalam masyarakat sebagai American Dream, dan kedua dari tersedianya cara-cara atau sarana-sarana dari institusi-institusi sosial untuk mencapai American Dream tersebut. Anggota masyarakat menyetujui adanya tujuan masyarakatnya, dalam American dream-nya, namun untuk mencapai tujuan tersebut terdapat jarak atau discrepancies yang memungkinkan pencapaian tujuan tersebut tidak dilakukan dengan cara-cara yang sudah disediakan oleh masyarakatnya, namun dengan cara yang menyimpang. Penyimpangan inilah yang disebut sebagai kejahatan, pelanggaran, kecurangan, namun bukan karena sudah adanya orang jahat terlebih dahulu, atau tidak adanya hukum atau aparat penegak hukum, melainkan karena individu yang hidup di dalam masyarakat, tidak bisa atau tidak bersedia menggunakan cara-cara yang sudah disediakan masyarakatnya, dan memilih menggunakan caranya sendiri untuk mencapai tujuannya.
Pada saat individu tidak bisa menggunakan cara-cara yang disediakan masyarakatnya, maka muncul problem, dan dia akan menggunakan caranya sendiri yang menyimpang dari cara-cara yang disediakan oleh masyarakatnya. Adanya American Dream ternyata disamping menimbulkan fungsi-fungsi yang positif bagi kemajuan Amerika, namun juga menimbulkan fungsi-fungsi negatif seperti kecurangan atau fraud. Untuk mewujudkan American Dream, orang didesak untuk kaya dan sukses melalui kerja keras di dalam menangkap setiap opportunity yang tersedia, sebagaimana Hillary Rodham Clinton membahasakan “No matter who you are or where you come from, if you work hard and play by the rules, you should have the opportunity to build a good life for your self and your family”. Sehingga, menjadi orang Amerika yang benar yaitu jika bisa mencapai tujuannya tersebut, dan jika gagal maka akan menjadi masalah, yang memunculkan penyimpangan berupa kejahatan maupun kecurangan akibat adanya regangan yang terjadi antara tujuan dan cara-cara yang disediakan utk mencapainya.
Pilihan untuk melakukan penyimpangan dari cara-cara yang sudah disediakan oleh masyarakatnya, memerlukan kreatifitas tersendiri, sehingga pelaku kecurangan justru banyak dilakukan oleh orang-orang pintar yang mampu keluar dari pranata-pranata normal di dalam masyarakatnya. Dengan demikian, di satu sisi American Dream sebagai sebuah fantasy orang Amerika untuk sukses, namun disisi lain, American Dream juga berlaku sebagai kriminogen.
Tipe Leadership Yang Mampu mendefinisikan Cultural Goal dan Cara-cara yang terpercaya untuk mencapainya
Masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang memiliki tujuan-tujuan yang sesuai dengan keberadaannya sejak awal (cultural goal) dan menyediakan cara-cara atau institusi-institusi yang memang tepat dan diperlukan untuk mencapai cultural goal tersebut, sehingga kehidupan masyarakat di dalamnya akan harmoni dan sustain untuk jangka waktu yang lama. Untuk mencapai kondisi masyarakat yang ideal, maka memerlukan tipikal leadership yang memiliki kemampuan untuk membawa warganya secara kolektif untuk dapat menerima cultural goal dari masyaakatnya, sekaligus membawa anggota masyarakatnya untuk menyetujui cara-cara atau institusional yang disediakannya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut secara optimal dan efektif.
Dengan demikian, leadership yang diperlukan pada masyarakat yang ideal adalah kepemimpinan yang memiliki kapabilitas (capable) untuk membangun sebuah comformity di dalam masyarakatnya. Untuk itu, diperlukan pemimpin-pemimpin yang mampu mendefinisikan cultural goal masyarakatnya dengan tepat, serta mengidentifikasi cara-cara atau institusi-institusi yang tepat serta efektif mampu mencapai cultural goal masyarakatnya, tanpa menjadi kriminogen. Ketidaktepatan di dalam mendefinisikan cultural goal dan atau cara-cara untuk mencapainya, akan menimbulkan kelambatan atau bahkan kekacauan di dalam pencapaian tujuan sebuah masyarakat yang ideal, menimbulkan penyimpangan-penyimpangan baru di dalam perilaku sosial, pertentangan antar kepentingan menonjol, kecurangan meningkat akibat kelemahan sistem, dan semuanya ini akan sangat menghambat tujuan kemajuan sebuah bangsa negara seperti Indonesia.
Sebagai contoh di China, perbedaan tipe kepemimpinan Mao Zedong dan Deng Xiaoping. Keduanya tidak berbeda di dalam menetapkan cultural goal-nya China untuk menjadi negara Industri yang maju, untuk mengatasi persoalan kemiskinan yang besar. Namun, keduanya berbeda di dalam merumuskan cara-cara untuk mencapai tujuannya. Deng Xiaoping dengan berani mengemukakan caranya yang berbeda, walaupun risikonya Deng terancam hukuman mati karena ide-idenya yang dianggap pro-barat. Sebuah blessing pada saat yang sama Mao Zedong keburu meninggal, dan rakyat China memang sangat membutuhkan perubahan, maka Deng lah orang yang tepat untuk membawa perubahan di China saat itu. Terpilihlah Deng sebagai orang nomor satu di China menggantikan Mao. Pada 1978, Deng menggagas reformasi di China yang dinamakan Gaige Kaifang (reformasi dan keterbukaan), dan berhasil meletakkan dasar kepemimpinan yang berkelanjutan sampai dengan beberapa kali pergantian pemimpin sampai dengan saat ini.